KeunikanRumah Adat Jawa Timur dan Penjelasannya. Satu lagi hal yang membedakan antara rumah adat Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Jika di Jawa Tengah hanya disebut sebagai rumah Joglo, maka orang Jawa Timur mengenal rumah adat ini dengan sebutan Joglo Situbondo. Uniknya, meski bernama Joglo Situbondo tapi rumah adat ini kini bisa ditemukan di
Makanan dan minuman tradisional Yogyakarta telah lama ada dan digemari oleh masyarakat dengan resep spesifik yang diwariskan turun-temurun. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Makanan Khas Yogyakarta Gudeg, merupakan makanan yang paling dikenal dari Yogyakarta. Cita rasa gudeg manis dan gurih. Gudeg berasal dari bahasa Belanda gut dag yang berarti cukup bagus atau enak. Begitu populernya masakan ini, sampai-sampai Yogyakarta dijuluki Kota Gudeg. Gudeg dibuat dari nangka muda yang dikupas, diiris-iris lalu direbus sampai masak. Santan, bawang merah, bawang putih, laos, kemiri, ketumbar, daun salam, dan garam dicampurkan ke dalam nangka tersebut. Dimasak lagi sampai kering dan berwarna kecokelatan. Warna cokelat dapat juga dibuat dengan memasukkan daun jati ke dalam masakan. Untuk menghasilkan rasa yang khas digunakanlah arang dari batok kelapa untuk pemanasannya, sehingga panas yang dihasilkan bisa merata dan tahan lama. Dibutuhkan pemanasan lima sampai enam jam untuk menghasilkan gudeg yang berkualitas dan tahan lama. Nasi uduk, disebut juga nasi gurih. Biasanya, nasi uduk dihidangkan pada upacara kenduri dan dibagi-bagikan dengan wadah dari daun pisang. Nasi uduk dibuat dari beras yang sudah dicuci bersih, dikukus sampai setengah matang, kemudian dicampur dengan santan dan daun salam. Lantas nasi uduk dikukus lagi sampai masak. Mayoritas nasi uduk disajikan dengan lauk ingkung ayam. Thiwul, merupakan makanan pokok sebagian kecil penduduk Gunung Kidul. Thiwul terbuat dari ketela pohon yang dijemur sampai kering, ditumbuk sampai halus dan disaring, diberi sedikit air dan dibuat bulatan kecil-kecil lalu dikukus sampai masak. Biasanya thiwul dihidangkan dengan sayur tempe. Growol, merupakan makanan pokok dari Kulon Progo. Growol terbuat dari ketela pohon yang sudah dikupas, dicuci, terus direndam dalam air selama dua sampai tiga hari. Setelah lunak, ia diangkat, dicuci bersih, dan ditiriskan. Sesudah air mengering, ia dicincang sampai lumat, baru dikukus hingga masak. Lazimnya, growol dicetak dengan alas daun pisang. Growol dimakan dalam bentuk irisan dengan sayur lodeh. Lauknya tempe benguk yang sudah dibacem. Makanan ini dapat ditemukan di Pasar Sentolo. Nasi jagung, merupakan makanan pokok sebagian kecil penduduk di lereng atas Gunung Merapi. Jagung yang sudah kering direndam dalam air yang telah diberi kapur selama setengah jam. Lantas jagung ditiriskan dan ditumbuk sampai halus. Setelah menjadi tepung, jagung dikukus sampai masak. Biasanya hidangan ini disajikan bersama sayur lombok dan ikan asin. Minuman Khas Yogyakarta Beras kencur, oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai minuman yang selain menyegarkan juga meningkatkan stamina tubuh. Beras kencur terbuat dari beras yang direndam dalam air, ditiriskan, terus ditumbuk sampai halus. Kencur yang sudah dikupas kemudian ditumbuk dan dicampur dengan beras yang telah halus. Selanjutnya diberi air secukupnya, terus disaring. Minuman ini dihidangkan dengan diberi gula jawa atau gula pasir dan sedikit jeruk nipis. Beras kencur cocok diminum sehabis berolah raga. Wedang secang, yang berwarna merah merupakan minuman kesukaan Sri Sultan HB IX. Minuman ini dapat menjaga kesehatan. Badan yang masuk angin, bila minum wedang secang hangat, bisa bugar kembali. Wedang secang terbuat dari serutan kayu secang, dua lembar daun cengkih yang sudah kering, irisan kulit pohon kayu manis, merica putih, daun serai, cabe rawit, dicampur dengan jahe yang sudah dibakar dan dipukul-pukul sampai gepeng. Semua bahan dimasukkan ke dalam kendil tanah liat, terus dipanaskan dengan air sampai mendidih. Setelah disaring, wedang secang dihidangkan dengan gula batu. Di Makam Imogiri, bahan ramuan wedang secang dijual sebagai oleh-oleh bagi para peziarah. Dawet, merupakan minuman pelepas dahaga yang cukup populer di Yogyakarta. Salah satu unsur dawet adalah cendol. Untuk membuat cendol, panaskan tepung beras hingga mendidih dan tuang dengan saringan ke dalam baskom yang berisi air dingin. Tepung beras yang jatuh ke dalam air dingin akan mengental membentuk cendol. Masukkan cendol ke dalam mangkuk, tambahkan santan kelapa dan sirup gula jawa. Untuk menambah sedap, tambahkan daun pandan wangi ketika membuat sirup gula kelapa. Di pasar tradisional masih kita temukan penjual dawet yang menjajakan dagangannya dengan memakai tenggok, wadah besar dari anyaman bambu. 3 Rumah Adat NTB: Bale Jajar. Rumah Bale Jajar dimanfaatkan sebagai salah satu rumah tinggal masyarakat setempat. (foto: budaya indonesia) Jenis rumah adat di NTB yang kedua adalah Bale Jajar. Jika Bale Lumbung digunakan sebagai tempat penyimpanan, maka Bale Jajar merupakan rumah adat NTB yang digunakan sebagai tempat hunian. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat beberapa macam rumah adat yang digunakan oleh masyarakatnya. Bentuk rumah adat di daerah ini tidak begitu berbeda dengan bentuk ataupun nama rumah adat yang terdapat di daerah Jawa Tengah, karena adanya keterikatan budaya Jawa yang terdapat di kedua daerah ini. Beberapa jenis rumah adat yang terdapat di Yogyakarta antara lain sebagai berikut. Rumah Adat Yogyakarta "Rumah Joglo" Rumah joglo adalah rumah tradisional Jawa yang paling sempurna. Bangunan ini mempunyai bentuk yang besar dan membutuhkan kayu yang lebih banyak dalam pembuatannya. Bentuk khas dari bangunan joglo adalah menggunakan blandar bersusun melebar ke atas yang disebut blandar tumpangsari. Bangunan tersebut mempunyai empat tiang pokok yang terletak di tengah yang disebut pula kerangka yang berfungsi sebagai penyiku atau penguat bangunan agar tidak bergeser posisinya yang disebut sunduk kili. Letak kerangka tersebut terletak di ujung sakaguru di bawah blandar. Apabila pada masing-masing sisi itu terdapat sunduk, maka sunduk keliling itu disebut koloran atau kendhit ikat pinggang. Bentuk bangunan joglo ini mempunyai ukuran bujur sangkar. Susunan rumah joglo biasanya dibagi tiga, yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendapa, ruang tengah atau ruang tempat pentas wayang ringgit yang disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang keluarga terdapat tiga buah sentong bilik sentong kiwo bilik kiri, sentong tengah bilik tengah, dan sentong tengen bilik kanan. Bagi kalangan bangsawan, biasanya di sebelah kiri dan kanan ruang keluarga ada bangunan kecil memanjang yang disebut gandok. Bangunan kecil tersebut mempunyai banyak kamar. Pendapa milik bangsawan selain sebagai tempat menerima tamu juga berfungsi sebagai tempat menggelar kesenian tradisional seperti tari-tarian. Para undangan yang menyaksikan duduk di sebelah kiri dan kanan pendapa, sedangkan pihak tuah rumah duduk dalam ruangan menghadap ke arah depan. Sentong kiwo dipergunakan untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat. Sentong tengah berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewi Sri atau dewi kesuburan sehingga disebut juga dengan pasren. Di dalam pasren terdapat genuk gentong yang terbuat dari tanah liat dan berisi sejimpit beras, kendi berisi air, juplak lampu minyak kelapa, lampu robyong, model burung garuda, paidon jambangan dari kuningan tempat membuang air ludah, dan loro blonyo, yaitu patung sepasang pengantin duduk bersila yang terbuat dari tanah liat atau kayu. Patung mempelai pria di sebelah kanan dan patung mempelai perempuan di sebelah kiri. Keduanya terletak di tengah dua buah paidon. Adapun sentong tengen untuk kamar tidur. Dalem atau ruang keluarga digunakan untuk hal yang bersangkut-paut dengan pembicaraan kalangan sendiri, merenungkan peristiwa atau pekerjaan lampau, memberikan nasihat kepada sanak keluarga, sampai kegiatan upacara adat yang sakral, yaitu puncak dari rangkaian upacara adat yang sebelumnya diselenggarakan di tempat lain. Peringitan dimanfaatkan untuk menerima tamu khusus. Ia juga digunakan untuk pertunjukan wayang kulit. Cerita yang dipilih biasanya terkait dengan perilaku manusia yang sarat dengan perbuatan tercela, sehingga memerlukan nasihat agar berbuat lebih baik di kemudian hari. Dalam perkembangannya, bentuk joglo mengalami perubahan-perubahan seperti joglo lawakan, joglo sinom, joglo jompongan, joglo pangrawit, joglo mangkurat, joglo hageng, dan joglo semar tinandhu. Rumah Limasan Rumah limasan adalah rumah tradisional yang banyak dibangun oleh masyarakat Yogyakarta. Rumah ini cukup sederhana dan tidak membutuhkan banyak biaya dalam pembuatannya. Limasan berasal dari kata limolasan yang berarti limabelasan. Perhitungan sederhana dalam pembuatan rumah limasan adalah dengan ukuran molo 3 m dan blandar 5 m. Molo adalah kerangka rumah paling atas yang bentuknya memanjang horizontal di ujung atap. Ibarat manusia, molo adalah kepalanya. Oleh karena itu sebelum molo dipasang, orang tidak boleh melangkahinya. Inilah bagian rumah yang dianggap paling keramat. Jika kita menggunakan molo 10 m, maka blandarnya harus berukuran 15 m. Dalam perkembangannya bangunan limasan mempunyai bentuk sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, muncul macam-macam limasan, seperti limasan lawakan, limasan gajah ngombe, limasan gajah njerum, limasan apitan, limasan klabang nyander, limasan pacul gowang, limasan gajah mungkur, limasan cere gancet. limasan apitan pengapit, limasan lambang teplok, limasan semar tinandhu, limasan trajumas lambang gantung, limasan trajumas, limasan trajumas lawakan, limasan lambangsari, dan limasan sinom lambang gantung rangka kuthuk ngambang. Ruangan dalam rumah limasan terbagi tiga, yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Ruang belakang dibagi menjadi sentong kiwo, sentong tengah, dan sentong tengen. Penambahan kamar biasanya ditempatkan di sebelah sentong kiwo ataupun sentong tengen. Bagi petani, sentong kiwo berfungsi untuk menyimpan alat-alat pertanian, sentong tengah untuk menyimpan hasil pertanian seperti padi dan ubi-ubian. dan sentong tengen digunakan untuk kamar tidur. Rumah Kampung Rumah kampung terdiri dari soko tiang yang berjumlah 4, 6 atau 8 dan seterusnya. Biasanya rumah jenis ini hanya memerlukan 8 soko. Atap terletak pada dua belah sisi atas rumah dengan satu bubungan atau wuwung. Dalam perkembangannya, rumah kampung mengalami banyak perubahan dan variasi sehingga muncullah aneka rumah kampung. Di antaranya adalah kampung pacul gowang, kampung srotong, kampung dara gepak, kampung klabang nyander, kampung lambang teplok, kampung lambang teplok semar tinandhu, kampung gajah njerum, kampung cere gancet, dan kampung semar pinondhong. Rumah Panggang-Pe Rumah panggang-pe merupakan bentuk rumah yang paling sederhana dan merupakan bangunan dasar. Inilah bangunan pertama yang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, udara dingin, air hujan, dan terik matahari. Bangunan sederhana ini hanya membutuhkan empat atau enam tiang. Di sekelilingnya ditegakkan dinding dari anyaman bambu atau papan. Karena amat sederhana, maka ruangannya hanya satu.19 Tradisi Pemakaman Suku Minahasa di Sulawesi Utara. Kearifan lokal yang dimiliki Suku Minahasa ini mempunyai ritaul pemakaman yang memang unik dan berbeda dari tradisi masyarakat lainnya di Indonesia. Dimana Suku Minahasa memposisikan jenazah duduk sambil memeluk kakinya, bukan dalam posisi tidur.
Salahsatu kesimpulan hasil penelitian sebelumnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rifma seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang pada tahun 2001 dengan judul "Peningkatan Kerja Sama Guru dengan Orangtua Siswa", Di dalam penelitian ini dijelaskan bahwa guru adalah sebagai pelaksana pendidikan yang perlu
In Java Island, especially the city of Yogyakarta has a distinctive art and culture hub, even regarded as the center and source of art in Indonesia. We can find a variety of typical Yogyakarta art and its cultures that are well known. Yogyakarta is an area in Central Java which, when viewed in terms of art is unique and interesting, this is because this area is still led by a Sultan who still holds firm old beliefs, especially art. Yogyakarta people also still regularly hold art events, with the sole purpose, to remember their ancestors. One of the factors why art is so thick here because Yogyakarta is a place of the civilization of the first Hindu-Buddhist kingdom. Here is some typical culture of Yogyakarta. See Also Cultures in Bali Asmat Tribe Culture Dani Tribes 1. Sendratari Ramayana Ramayana Ballet is one of the most famous art in Yogyakarta, usually, foreign tourists are very fond of this show. Usually, this ballet is performed in Prambanan Temple. This ballet tells about the opposition between the good minds of perception in Sri Rama from the Ayodhiyapala state against the evil that existed in Rahwana the wrathful Maharaja of the Alengka state. The ballet has four different episodes in each show, such as the loss of Dewi Shinta, Hanoman Duta, Kombokarno Leno, and the Holy Fire. The ballet is staged every May to October. See also Religious beliefs in Indonesia History of Art in Indonesia Haunted Places in Indonesia 2. Sekaten Ceremony This event is a Javanese tradition event commemorating the birthday of Prophet Muhammad SAW. The people of Yogya assume that if they participate in this commemoration then they will get rewarded in the longevity of life from the God Almighty and as for the terms and condition, they must chew betel leaves in the yard of the Great Mosque from the beginning of the event started till finish. See Also Culture of Toraja Culture of Sundanese Culture of Jakarta 3. Grebeg Maulud Ceremony Grebeg Maulud ceremony is the culmination of the birth ceremony of the Prophet Muhammad SAW held on 12 Maulud, after the inclusion of gamelan Kyai Nogowilogo in the festivity the Keraton called “Bendhol Songsong” then reached the culmination of this event to bring food condiment shaped like a mountains to the Great Mosque and distribute it to the community after prayer. Then this food mountain will be planted in the agricultural area to fertilize the soil for the next harvest. See Also Kartini Day Celebrations Islamic Law in Indonesia Oldest Temple in Indonesia 4. Cupu Panjalo Ceremony According to history, Cupu Ponjolo has three items, found in the sea by Kyai Panjolo who was fishing in the sea. By the people of Mendak Village, Girisekar, Panggang, and Gunung Kidul. The items are believed to be able to give symbols and predictions about the future of the village. The three cupu are placed in a box and wrapped in hundreds of layers of mori cloth, stored in a special room. During the ceremony, the mori cloth wrap is opened and researched one by one to find the picture or motif on the mori cloth. The image becomes a symbol or a prediction of what will happen in the future. This ceremony is usually held on the eve of the rainy season September-October, on the market day Kliwon See Also Chinese Culture in Indonesia Javanese Traditions Javanese Batik Fabric 5. Java Art Puppets One characteristic of Yogyakarta culture, especially Java is the art of wayang. The art of wayang is a cultural creation of Central Java society which in each story has a philosophy of life of Javanese society, such as stories of heroism, previous kings or Javanese mythology. Javanese society is very fond of wayang because every story contained in this puppet art can be used as the guidance of society in maintaining Javanese culture itself. In every wayang play is always led by a Dalang who understand the plot in the puppet. This wayang performance is always accompanied by gamelan music. See also Javanese Traditional Dance Indonesia Java Indonesian Herbal Medicine 6. Traditional Weapons In Yogyakarta, the keris is the most famous traditional weapon and often times is worn by dignitaries to upheld their status in the community. The Kris was also given honorary titles such as “Kanjeng Kyai Kpek” and so on. In addition to Kris, there is also a spear as an heirloom. They are highly respected and honored. Among others are “Kajeng Kyai Ageng Plered”, “Kanjeng Kyai Ageng Baru”,” Kanjeng Kyai Gadapan “and” Kanjeng Ageng Megatruh “. See Also Javanese Wedding Culture Indonesia Business Cultures Traditional Music of Indonesia 7. Siraman Pusaka Ceremony This Siraman Pusaka ceremony is held every Tuesday or Friday kliwon in Sura Java, the palace held this event to clean the sacred objects belonging to the palace and also to scrub clean the palace trains vehicle. While on Friday kliwon in the place of tombs of kings of the Imogiri area. They were performing a drainage and washing ceremony of water in jars or vases called Enceh. It is said, according to the Javanese society norms when one is drinking this water then he/she will avoid from calamity or distress, preventing disease, and given youthful radiance. See also Rafting in Indonesia Best Nightlife in Indonesia Piracy in Indonesia 8. Java Ketoprak Ketoprak is one of the Javanese arts cultures in the form of presentation like a drama, but ketoprak has a distinctive story that contains the history of Javanese society especially past kingdom. Ketoprak played by some people who tell a role in one story, the costume and dressed in this drama are always adjusted to the story line and the time it’s depicted. Usually, in every play ketoprak, they always accompanied by Javanese songs. See Also Papua Culture Indonesia Misunderstanding of Culture in Indonesia Indonesian Wedding Culture 9. Gamelan Arts Gamelan is a special instrument of Central Java especially Yogyakarta. This gamelan music is often used in traditional ceremonial in Yogyakarta or as musical accompaniment in the palace of Yogya. One of the places in Yogyakarta where you can see gamelan performances is Kraton Yogyakarta. On Thursday at 1000 to 1200 pm they held a gamelan as separate musical performances. On Saturday at the same time, gamelan music was performed as an accompanist of wayang kulit, while on Sunday at the same time they held gamelan music as a traditional Javanese dance accompaniment. See Also Gamelan Facts Indonesian Tribes Spices in Indonesia Traditional Music of Indonesia 10. Angguk Dance Arts Art Dance Angguk is one of the many types of folk art that exist in the Province of Special Region of Yogyakarta. It’s a native art in the form of dance accompanied by people words that contain various aspects of human life, such as social relationship in community, character, advice, and education. In this art, they also recited sentences that exist in the book of Tlodo, which although inscribed with Arabic letters, but was sang with Java tunes. The song is sung in between the dancers and the accompanist drumming. In addition, there is one thing that is very interesting in this art performances, namely the presence of players who “ndadi” or experiencing trance during peak performance. See Also Indonesian Etiquette Diversity in Indonesia Bali Facts 11. Golek Menak Dance Arts Golek Menak Dance is one of the classical dance styles of Yogyakarta created by Sri Sultan Hamengku Buwono IX. The creation of the Golak Menak dance originated from the idea of the sultan after witnessing a Wayang Golek Wayang show performed by a puppeteer from Kedu area in 1941. It also called Beksa Golek Menak, or Beksan Menak. It contains the meaning of Menek Golek puppet show. Because he loved the Wayang puppets culture so Sri Sultan planned to make a show that is the wayang dance. See Also Indonesian Traditional Transportation Indonesian Night Markets History of Indonesian National Anthem Others 12-20 There are several other culture of Yogyakarta which you may want to know, as follows 12. Bekakak Ceremony Bekakak ceremony held every month of Sapar, Friday between the date of 10-20, was done to honor Kyai and Nyai Wirasuta who became a servant of Hulu I Penanggang and was in charge of carrying an umbrella for Pakubuwono I. 13. Tunggul Wulung Ceremony Medium community living around Sendang Agung, Sleman always held a ceremony tunggul wulung every Friday Pon, the event is intended for thanksgiving to God and Ki Ageng Tunggul Wulung and his wife for the abundant fortune. 14. Labuhan Pantai Ceremony The ceremony is aimed at the Queen of the South Sea by offering clothes, makeup tools and flowers for the Queen. For the welfare being of Ratu Kidul. See Also Traditional Sports in Indonesia Javanese Traditional Dance Traditional Houses in Indonesia 15. Tumplak Wajik Ceremony The ceremony of Tumplak Wajik was held two days before the event of grebegan. Located in the South Kemandungan yard or Magangan palace of Yogyakarta. The ceremony of Tumplak Wajik means spilling the diamond a type of food made from sticky rice as the basis for making food mountains before the grebegan event begins. 16. Saparan Wonolelo Ceremony The Saparan Wonolelo ceremony is conducted by the people of Wonolelo, Ngemplak Sleman every Sapar month, Thursday Pahing or Friday Pon. 17. Dolanan Anak Dolanan anak is a traditional game of children that are almost extinct. However, some traditional events in Yogyakarta often organize this dolanan event. 18. Traditional House The traditional house of Yogyakarta Special Region called Kencono Kraton Kraton Yogyakarta is a Pendopo building. The courtyard is very large, overgrown with plants and equipped with several bird cages. In front of the Kencono Ward, there are two statues of Gupolo. See Also Traditional Clothes of Indonesia Traditional Songs of Indonesia Traditional Drinks of Indonesia 19. Custom Clothes Yogyakarta men wear custom clothes in the form of head cover, suit with the closed neck and keris tucked in the back waist. He also wore a batik cloth patterned the same with the woman. While women wear kebaya and batik cloth. Jewelry in the form of earrings, necklaces, and rings. 20. Jathilan Dance Jathilan dance is a dance with fellow warrior scenes riding and carrying a weapon of war. This dance puts the figure of a mighty war warrior on the battlefield and carrying a sword weapon. The wide variety of culture in Jogjakarta can be attributed to its deep existence in the history of Java island as a whole. As the Jogja kingdom plays a central role in ruling the archipelago, hence many people created various tradition to identify themselves as Javanese. By appreciating this unique culture then we can better understand the value of arts that permeated Indonesian citizens.35 Rumah Adat Indonesia: Gambar dan Penjelasannya Lengkap (34 Provinsi) 18 Agustus 2020 oleh Abu Nawas. Rumah Adat Indonesia - Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi. Hal ini tak lepas dari banyaknya suku bangsa yang mendiami nusantara mulai dari Sabang di barat sampai Merauke di ujung timur. - 19 Maret 2018 1345 WIB - Apa yang ada di benak Anda ketika pertama kali mendengar kata Yogyakarta? Sejarahnya yang kental, kuliner gudegnya yang menggoda selera, atau Malioboro sebagai surga belanja favorit para shopaholic? Tidak keliru. Yogya atau Jogja memang menyimpan daya tarik yang membuat siapa saja tersihir untuk kembali ke sana. Nah, bagi Anda yang berencana menghabiskan waktu liburan di Kota Pelajar yang satu ini, ada baiknya kenali dulu sejarah, tradisi dan budaya, serta daya tarik Yogyakarta agar momen liburan Anda nanti semakin berkesan. Sejarah Yogyakarta Memiliki nama resmi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY, daerah ini merupakan provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa timur. Sesuai Namanya, Yogya yang berstatus istimewa memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri. Meski diperoleh sejak zaman kolonial sebelum Indonesia merdeka, status tersebut masih dipertahankan sampai sekarang, lho. Karena itulah, Yogyakarta juga disebut sebagai Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan sultan sebagai kepala pemerintahan setara gubernur. Tradisi dan Budaya Hingga saat ini, Yogyakarta masih lekat dengan berbagai tradisi dan budaya uniknya. Beberapa di antaranya bahkan diselenggarakan secara rutin setiap tahunnya. Nah, apa saja sih itu? - Upacara Sekaten Sekaten merupakan gelaran upacara adat yang cukup terkenal di Jogja. Upacara ini diselenggarakan setiap tanggal 5 Maulid, menjelang hari lahir Nabi Muhammad, di alun-alun utara Yogyakarta. Upacara ini berlangsung selama 7 hari. Umumnya tradisi ini juga dibarengi dengan adanya pasar malam Sekaten. - Grebeg Muludan Nah, menjelang perayaan Sekaten usai, upacara akan ditutup dengan Grebeg Muludan, yakni pada 12 Rabiul Awal tepat hari lahir Nabi Muhammad. Ritual ini ditandai dengan adanya gunungan tinggi yang tersusun dari beras ketan, makanan pokok, sayur, serta buah-buahan yang dikawal oleh 10 macam Bregada kompi prajurit keraton Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrirejo, Surakarsa, dan Bugis. Arak-arakan ini dimulai dari Istana Kemandungan, melewati Siti Hinggil dan Pagelaran, sampai berakhir di Masjid Agung. Gunungan yang sudah didoakan selanjutnya dibagikan kepada masyarakat dengan harapan agar mereka mendapat berkah. - Siraman Pusaka Upacara berikutnya yang masih rutin digelar di tanah Yogyakarta adalah Siraman Pusaka. Seperti Namanya, upacara ini diadakan untuk membersihkan segala macam benda pusaka yang terdapat di keraton kesultanan. Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Suro pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Beberapa pusaka yang terbilang penting bagi Keraton Yogyakarta antara lain tombak Ageng Plered, keris Ageng Sengkelat, dan kereta kuda Nyai Jimat. ** Aturan Unik di Yogyakarta Selain sejarah, tradisi, dan budayanya yang kaya, Yogyakarta ternyata memiliki aturan unik tak tertulis yang hingga saat ini masih dijalankan. Apa saja, sih, itu? - Tidak boleh mengenakan pakaian berwarna hijau di Parangtritis Konon, hijau adalah warna kesukaan Nyi Roro Kidul, sehingga siapa pun yang berkunjung ke Pantai Parangtritis diimbau untuk tidak mengenakan pakaian dengan warna hijau. Konsekuensi jika aturan ini dilanggar pun cukup seram, yakni tenggelam di laut. - Mengulek sambal menghadap ke selatan Untuk menghormati Nyi Roro Kidul, warga Gunungkidul sampai sekarang masih menerapkan ritual yang satu ini, lho; menghadap selatan ketika mengulek sambal. - Pengantin dilarang lewat perempatan Palbapang Menurut cerita, pengantin atau orang sakit yang nekat lewat perempatan Palbapang dengan tangan kosong akan mendapat celaka. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan membawa ayam hidup sebagai “tumbal”. Wah, ternyata banyak sekali tradisi dan cerita unik yang bisa kita gali dari Yogyakarta, ya. Menikmati kota ini tentu tidak cukup hanya dalam sehari. Untuk itu, percayakan keperluan akomodasimu pada Airy. Klik link untuk mendapatkan harga penerbangan termurah. Selamat berlibur!
Pernahkah kalian berkunjung ke Keraton Yogyakarta? Dan apakah kalian tahu nama-nama rumah yang ada di lingkungan Keraton itu? Yak, bangunan disana dibangun dengan model rumah Joglo, yang dalam perkembangannya akan mempengaruhi jenis rumah adat Yogyakarta. Walaupun Jawa Tengah dan Jawa Timur juga memiliki rumah adat bernama rumah Joglo, tetapi terdapat perbedaan lo di antara mereka. Apa saja perbedaan dan kemiripannya? Yuk disimak. Penjelasan Rumah Adat YogyakartaFilosofi dan Makna ArsitekturCiri Khas dan Keunikan A. Konstruksi Rumah B. Konfigurasi RuanganC. Desain anti GempaJenis Rumah Adat Yogyakarta A. Rumah Joglo Keraton SejarahMacam macam Joglo Keraton Komposisi Ruang dan KeterangannyaFilosofi, Keunikan dan Ciri KhasB. Rumah Joglo Rakyat Asal usulMacam macam Rumah Joglo Rakyat Bagian Rumah dan PenjelasannyaOrnamen HiasA. Motif Flora Tumbuhan B. Motif Fauna Hewan C. Motif Alam Rumah adat dari Daerah Istimewa Yogyakarta DIY berbentuk rumah Joglo. Tidak hanya di Yogyakarta, Joglo sebenarnya juga banyak dikembangkan dan diakui sebagai rumah suku Jawa yang bermukim di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nama Joglo sendiri merupakan akronim dari tajug loro, sebagai hasil stilasi dari bentuk atap meru tajug bertumpuk dua loro lapis pada peratapan rumah. Di kalangan keraton di Yogyakarta rumah Joglo dikenal dengan sebagai Joglo Keraton yang identik dengan bangunan Bangsal Kencono. Bangunan ini kemudian mempengaruhi perkembangan perumahan di Yogyakarta, karena masyarakatnya masih memegang teguh konsentris kehidupan keraton. Rumah Joglo Yogyakarta baik di kalangan keraton maupun rakyat, memiliki aksen bangunan tradisional Jawa dengan ciri atap berbentuk bubungan tinggi seperti gunungan yang namanya atap meru bertumpuk tiga. Uniknya, walaupun tidak bertipologi rumah panggung, rumah joglo ini sudah dikembangkan dengan konsep anti gempa, mengacu pada geografis Yogyakarta yang berada di lempengan rawan gempa. Filosofi dan Makna Arsitektur Suku Jawa umumnya memaknai rumah sebagai hunian yang berarti sesuatu dengan batasan baik secara vertikal maupun horizontal. Rumah juga merupakan pusat interaksi dengan sesama, sehingga bangunan rumah didesain sedemikian rupa untuk menciptakan kenyamanan dan kebahagian. Masyarakat Yogyakarta memegang teguh kepercayaan yang mengarah pada konsep hubungan antara Laut Selatan sumbu bawah, kota Yogyakarta sumbu tengah dan Gunung Merapi sumbu atas. Kepercayaan ini kemudian melahirkan aturan tata letak dalam membangun rumah di Yogyakarta. Bangunan Joglo keraton mempunyai orientasi arah ke utara menghadap Gunung Merapi, yang dipercaya sebagai titik pusat kekuatan alam. Sedangkan joglo rakyat dibangun dengan arah hadap ke selatan menuju laut Selatan. Filosofi sumbu ini juga memberi makna keseimbangan. Implementasinya adalah pemilihan bangun persegi sebagai bentuk dasar rumah Joglo, yang memberikan kesan simetris, kokoh dan seimbang. Kepercayaan terhadap sumbu atas yang berada di Gunung Merapi menginsipirasi bentuk atap Meru di rumah Joglo, yakni peratapan brunjung yang menjulang tinggi ke atas. Ciri Khas dan Keunikan A. Konstruksi Rumah 1. Struktur Atap Esensi dasar bentuk atap rumah Joglo Yogyakarta adalah bertingkat dari atap brunjung, atap penanggap, dan atap emper. Atap brunjung menjulang ke atas dengan bentuk lebih kecil dan curam. Sementara atap di bawahnya penanggap dan emper berbentuk trapesium landai dan melebar ke bawah. Berdasarkan susunannya, atap Joglo dibedakan menjadi Lambang Gantung dan Lambang Sari. Ciri atap Lambang Gantung pada rumah Joglo adalah terdapat celah antar susunan atap yang bermanfaat sebagai ruang sirkulasi udara. Sedangkan karakteristik atap Lambang Sari yaitu disusun secara langsung tanpa celah dari atap brunjung sampai atap emper. Perkembangan susunan dan ukuran masing-masing atap dalam rumah Joglo ini kemudian memunculkan beraneka macam jenis Joglo. 2. Struktur Tiang Utama Atap rumah Joglo ditopang oleh empat tiang utama yang disebut saka guru sebagai cerminan manunggaling kiblat papat kekuatan berasal dari empat penjuru mata angin. Lazimnya saka guru memiliki ukuran yang lebih besar daripada tiang penyokong lainnya. Saka guru berafiliasi dengan tumpang sari tumpukan balok berlapis-lapis di atas tiang membentuk ciri khas yang hanya dimiliki oleh rumah Joglo. Masing-masing saka guru disambung oleh struktur penghubung yang disebut tumpang dan sunduk. Sunduk ini merupakan konstruksi penyiku yang berfungsi sebagai stabilisator agar tiang terpancang kuat dan mampu menahan goncangan. B. Konfigurasi Ruangan Rizqi Allam, 2018 Konfigurasi ruang dalam rumah Joglo Yogyakarta dibedakan menjadi ruang publik pendopo depan, semi publik pringgitan, privat ndalem dan senthong serta ruang semi privat dapur, gandhok, dan pekiwan. Salah satu komposisi unik dalam rumah Joglo adalah adanya pringgitan, yaitu lorong yang menghubungkan pendopo dengan rungan ndalem yang ada di omah njero. Memiliki konstruksi tiga pintu depan. Sumber Rumah Joglo juga memiliki tiga buah pintu yang berjajar, pintu tengah sebagai pintu utama bernama kupu tarung diperuntukkan untuk keluarga besar. Sementara dua pintu di sebelah kanan dan kiri adalah pintu untuk besan, sebagai representasi bahwa tamu adalah bagian yang terhormat, sehingga harus memiliki tempat dan tata krama tersendiri untuk menyambutnya. C. Desain anti Gempa Rong-rongan di rumah Joglo. Sumber Prihatmaji, 2007 Detail Konstruksi anti dempa. Sumber Prihatmaji, 2007 Konstruksi penahan gempa pada rumah Joglo terbagi menjadi dua model, yakni penggunaan rong-rongan umpak-saka guru-tumpangsari dan pembebanan bangunan sebagai upaya penahan gaya lateral. Core in frame dari desain anti gempanya terdapat pada kombinasi struktur rong-rongan yang menjadi inti kekuatan dengan struktur rangka ruang saka samping-blandar-usuk yang memberikan kekakuan. Jenis Rumah Adat Yogyakarta A. Rumah Joglo Keraton Sejarah Bangsal Kencana. Sumber Keraton dalam kosmologi masyarakat Yogyakarta dianggap sebagai episentrum atau pancer. Kedudukan keraton mempunyai pengaruh besar terhadap unsur kehidupan di sekelilingnya, termasuk dalam perkembangan bentuk rumah hunian. Tipologi rumah Joglo sudah dikembangkan di Keraton Yogyakarta sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I yaitu pada bangunan Ndalem Ageng dengan model Joglo Sinom beratap Lambang Gantung. Dan pada masa Sultan Hamengku Buwono II di tahun 1792 dimulailah pembangunan Bangsal Kencono, yang diakui sebagai representasi Joglo Keraton dalam sejarah rumah adat Yogyakarta. Bangsal Kencana merupakan pancer keraton dengan arsitektur paling indah. Posisinya berada di pelataran Kedathon di pusat kawasan Kearton Yogyakarta. Secara khusus Bangsal Kecana menjadi tempat pelaksanaan upacara atau ritual adat keraton, sebagai contoh adalah prosesi penobatan Sultan Keraton Yogyakarta. Macam macam Joglo Keraton 1. Joglo Jompongan Wibowo, Gatut M. dan Sukirman, 1998 Rumah dengan tipe Joglo Jompongan memiliki dua pengeret balok melintang yang menghubungkan antar tiang dengan bentuk rumah cenderung persegi panjang. Konstruksi bangunannya terdiri dari 16 saka tiang dengan atap lengkap brunjung, penanggep dan emper. 2. Joglo Sinom Wibowo, Gatut M. dan Sukirman, 1998 Rumah dengan jenis Joglo Semar memiliki atap berlapis tiga dengan bagian ujungnya berbentuk wuwung. Tiangnya terdiri dari 36 buah dengan 4 diantaranya adalah saka guru. Bentuk bangunnay adalah persegi dengan panjang sisi yang sama. Joglo Sinom ini diterapkan pada pembangunan Ndalem Ageng Keraton Kaswarganan Yogyakarta. 3. Joglo Pangrawit Wibowo, Gatut M. dan Sukirman, 1998 Joglo Pangrawit merupakan jenis rumah dengan atap yang memiliki regangan bertipe Lambang Gantung. Masing masing regangan antara brunjung-penanggep dan penanggep-emper penith ditopang oleh saka benthung. Tiangnya berjumlah 36, membentuk komposisi rumah berbentuk persegi panjang. Rumah jenis ini digunakan pada Bangsal Pengrawit di dalam komplek keraton. 4. Joglo Mangkurat Wibowo, Gatut M. dan Sukirman, 1998 Joglo Mangkurat memiliki desain mirip dengan Joglo Pangrawit. Bedanya, bangunannya memiliki ukuran yang lebih besar dan tinggi dan masing-masing regangan atap tidak dipancang dengan saka benthung. Regangan antara atap brunjung dan emper pada Joglo Mangkurat dihubungkan dengan balok lambangsari. Tiang penopangnya berjumlah 44 dan bangunannya berbentuk persegi panjang. Joglo jenis ini dipakai pada Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta. 5. Joglo Trajumas Bangsal Trajumas. Sumber Rumah Joglo Trajumas memiliki pengeret berjumlah tiga buah. Atapnya tersusun dari atap brunjung yang tinggi diikuti atap penanggap dan emper yang disusun tanpa sekat. Pola penggunaannya dapat dilihat pada Bangsal Trajumas Keraton Yogyakarta. 6. Joglo Semar Tinandu Wibowo, Gatut M. dan Sukirman, 1998 Regol Danapratapa. Sumber Joglo Semar Tinandu banyak dipakai sebagai konstruksi regol atau pintu gerbang utama, seperti yang terlihat pada regol Masjid Gedhe Yogyakarta ataupun regol di kawasan keraton, salah satunya regol Danapratapa. Karakteristiknya adalah memiliki 2 pengeret yang ditopang oleh 2 saka guru. Beberapa modifikasi dari Joglo Semar Tinandu berupa penggantian saka guru menjadi beteng pagar tembok. Komposisi Ruang dan Keterangannya Wibowo, Gatut M. dan Sukirman, 1998 Kawasan Keraton Yogyakarta terbagi menjadi bagian depan, inti dan belakang dengan komposisi ruangan yang berbeda sesuai dengan kepentingannya. Secara umum, tipologi bangunan di Joglo Keraton dibedakan menjadi dua, yaitu bangsal struktur bangunan pendopo tanpa dinding dan gedhong struktur bangunan yang dilengkapi dinding. Komposisi ruangannya terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu pendopo, pringgitan dan ndalem yang kemudian dilengkapi dengan ruang pendukung lainnya. 1. Rancang Bangun Pendopo Pintu gerbang berada di susunan paling depan rumah Joglo Keraton dan dikenal dengan nama regol. Ada rumah yang memiliki satu regol diletakkan di ujung kanan dan ada yang memiliki dua berimbang di kiri dan kanan. Sumur juga biasa berada di sayap depan bagian kanan, sebelah dalam regol. Pendopo di rumah Joglo Keraton tidak hanya berfungsi untuk menerima tamu, tetapi sering juga dipakai sebagai panggung pagelaran kesenian. 2. Rancang Bangun Pringgitan Pringgitan adalah penghubung antara bagian pendopo dengan bagian ndalem rumah. Pada konstruksi Joglo Keraton, antara pendopo dengan pringgitan terdapat ruang sela kecil yang disebut longkangan sebagai jalan masuk kendaraan pemilik rumah. Beberapa rumah dilengkapi dengan kuncung di areal depan pendopo sebagai garasi kendaraan. 3. Rancang Bangun Ndalem Bagian ndalem atau juga dikenal dengan omah njero adalah bagian utama dari susunan rumah Joglo. Ruangan ndalem terdiri dari senthong kamar kiri dan kanan yang memiliki fungsi sebagai ruang tidur, serta senthong tengah untuk penyimpanan benda pusaka sekaligus tempat peribadatan. Pintu Seketheng. Sumber Di sekeliling ndalem dibangun ruangan tambahan berbentuk leter U yang diberi nama gandhok. Gandhok difungsikan sebagai ruang tidur anak perempuan gandhok kiri dan anak laki-laki gandhok kanan serta kamar tamu untuk kerabat yang menginap. Sementara sayap belakang yang menyatu dengan gandhok merupakan bangunan pawon dapur. Bagian rumah ndalem dan gandhok dihubungkan dengan pintu kecil yang disebut seketheng. 4. Rancang Bangun Pawon Dapur atau di Jawa dikenal dengan nama pawon adalah ruang tambahan yang susunan paling belakang dalam rumah Joglo. Pawon bagi masyarakat Jawa tidak hanya berfungsi untuk memasak, tetapi merupakan manifestasi dari hasil kerja keras yang diwujudkan dalam bentuk hidangan makanan. Bangunan pawon terhubung dengan pekiwan atau struktur bangunan yang digunakan sebagai kamar mandi dan toilet. Filosofi, Keunikan dan Ciri Khas Bangsal Kencana menggunakan tipologi rumah Joglo jenis Sinom-Mangkurat. Perpaduan ini menghasilkan bentuk atap yang unik, karena menggabungkan dua jenis atap sekaligus, yakni Lambang Gantung menghubungkan atap Brunjung dengan atap Penanggap serta Lambang Sari pertemuan antara atap Penanggap dan atap Emper. Keunikan lainnya tercermin dari uleng berjumlah 6 kebanyakan 2 sebagai wujud kewibawaan keraton Yogyakarta. Ornamen yang berada di dalam Bangsal Kencana memiliki nuansa hijau dan putih sebagai bentuk sense of belongings terhadap semesta yang menjadi sumber kehidupan manusia. Selain itu, motif yang digunakan merupakan perpaduan budaya Jawa, Tiongkok, Portugis dan Belanda. B. Rumah Joglo Rakyat Asal usul Awal perkembangannya, rumah Joglo hanya digunakan di lingkungan keraton dan para bangsawan, karena rumah hunian dianggap sebagai visualisasi strata sosial pemiliknya. Terlepas dari itu, pembangunan rumah Joglo membutuhkan biaya yang besar sehingga tidak semua kalangan dapat melakukannya. Rakyat di luar keraton Yogyakarta mulanya hanya menggunakan model rumah kampung. Berdasarkan pakem hidup masyarakat yang masih menganut konsentris keraton, bentuk atap meru berlapis Joglo kemudian mulai berpengaruh ke kalangan rakyat biasa. Keluarnya bentuk Joglo ke rakyat ini sudah mengalami beberapa modifikasi dan penyederhanaan. Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya pembuatan dan perawatan rumah Joglo yang mahal. Macam macam Rumah Joglo Rakyat Rumah Joglo yang berkembang banyak sekali mengalami modifikasi, utamanya adalah variasi pada bentuk atap. Berikut ini adalah berbagai jenis rumah Joglo beserta gambar dan keterangannya 1. Joglo Lawakan Rumah dengan desain Joglo Lawakan umumnya mempunyai usuk kerangka penopang atap menyerupai bentuk payung karena susunanya semakin melebar ke bawah. Tiang penyokongnya berjumlah 16 dengan empat tiang di tengah berperan sebagai saka guru. Memiliki empat sisi atap yang bersusun tiga brunjung, penanggap dan emper dan bentuk rumah persegi panjang. 2. Joglo Ceblokan Rumah bergaya Joglo Ceblokan memiliki konstruksi tiang yang disebut saka pendhem karena tiangnya terpendam menancap ke dalam lantai. Hal ini berbeda dengan bentuk Joglo lain yang menggunakan umpak bantalan tiang. Beberapa rumah tipe Ceblokan tidak menggunakan sunduk. 3. Joglo Apitan Atap brunjung pada Joglo Apitan menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan rumah Joglo jenis lain. Hal ini disebabkan ukuran pengeret yang lebih pendek, sehingga dari luar struktur rumahnya menjadi kecil dan ramping. Susunan atapnya merenggang di pertemuan atap brunjung dengan penanggap. Rumahnya ditopang oleh 16 tiang dengan bentuk dasar bangunannya adalah persegi panjang. 4. Joglo Wantah Apitan Rumah Joglo Wantah Apitan memiliki bentuk menyerupai Joglo Apitan. Hanya saja jenis rumah ini memiliki jumlah tumpang, singup dan takir sebanyak lima buah. Atapnya bersusun tiga dengan model atap brunjung tinggi dan tidak memiliki regangan antar penghubung atap. Bagian Rumah dan Penjelasannya Rizqi Allam, 2018 Konfigurasi ruang pada rumah Joglo rakyat lebih sederhana dibandingkan dengan rumah Joglo Keraton. Komposisinya secara umum sama memiliki pendopo, pringgitan dan omah njero ndalem. Namun terdapat struktur yang disederhanakan dalam susunan ruangan rumah Joglo rakyat, yakni tidak adanya jalan masuk longkangan diantara pendopo dan pringgitan, serta tidak ada pula bangunan gandhok di sayap kiri dan kanan rumah. Perbedaan lainnya terdapat pada fungsi senthong. Pada Joglo rakyat, senthong kiwa digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda pusaka ataupun senjata. Senthong tengah difungsikan untuk gudang penyimpanan benih tanaman yang akan ditanam, serta beberapa juga difungsikan sebagai ruang ibadah. Sementara senthong tengen lebih difungsikan sebagai kamar yang digunakan untuk tidur. Susunan pawon dan pekiwan tetap berada paling belakang, karena merupakan bagian kotor dan buang hajat. Ornamen Hias Ornamen di tumpangsari. Sumber Ornamen hias di umpak soko guru. Sumber Ragam hias dipakai pada rumah Joglo Yogyakarta terinspirasi dari tiga komposisi, yaitu flora tumbuhan, fauna hewan dan bentuk dari alam. Ornamen ini biasanya berupa ukiran yang dipahatkan pada kayu sebagai material utama penyusun rumah Joglo. Penempatan masing-masing ukirannya bervariasi, detail penjelasannya adalah sebagai berikut. A. Motif Flora Tumbuhan 1. Corak Lung-lungan Lung dalam bahasa Indonesia berarti sulur tanaman, coraknya biasa dijadikan ornamen ukir pada daun pintu maupun jendela. 2. Motif Soton Soton adalah motif ukir yang menggabungkan komposisi daun dan bunga, serta memanfaatkan bentuk geometris untuk mempermanis. Corak ini biasa dipakai pada blandar, sunduk, tumpang, ataupun pengeret. 3. Motif Wajikan Wajik adalah salah satu makanan tradisional Jawa yang biasanya disajikan dalam potongan belah ketupat. Bentuk ini menjadi inspirasi penciptaan motif wajikan, yang dilengkapi dengan daun dan bunga sebagai pusat perhatian. Motif ini biasa digunakan pada bagian tengah tiang atau sudut pertemuan balok kayu. 4. Motif Nanasan Motif ini mengambil bentuk buah nanas sebagai bentukan utamanya. Beberapa kalangan menyebutnya juga omah tawon karena bentuknya menyerupai rumah tawon yang tergantung. Corak nanasan biasa digunakan pada dada peksi maupun kunci blandar. 5. Motif Tlacapan Tlacap adalah motif segitiga yang berjajar dengan penambahan lung-lungan. Penempatan corak tlacapan adalah di ujung ataupun pangkal balok-balok kerangka. 6. Motif Patron Patron mengambil kata dari patra yang memiliki arti daun. Susunan motifnya ditempatkan untuk menghiasi blandar, dan balok kerangka atap lainnya. 7. Motif Padma Padma adalah bunga Teratai yang merupakan salah satu bunga yang disucikan bagi penganut kepercayaan Budha. Motif ini banyak disisipkan pada umpak bantalan tiang. B. Motif Fauna Hewan 1. Motif Kemamang Filosofi kemamang adalah menelan segala sesuatu, yang berarti diharapkan corak ini dapat menjadi penolak hawa jahat yang akan masuk. Oleh karenanya motif kemamang ditempatkan di regol pintu masuk. 2. Motif Garuda Peksi Garuda peksi dipercaya sebagai suatu lambang penumpas kejahatan. Penggunaan corak ini adalah di regol dan bubungan atap. C. Motif Alam 1. Motif Gunungan Gunungan memegang filosofi tertinggi dalam masyarakat jawa, oleh karenanya bentuk ini diambil sebagai salah satu corak ukir. Motif ini biasa dipakai sebagi ornamen hias di bubungan rumah. 2. Motif Praba Corak ini memberikan ilustrasi tentang sinar sehingga penempatannya berada di tiang bagian bawah pada bangunan utama. 3. Motif Mega Mendhung Mega Mendhung adalah awan berwarna putih dan hitam sebagai cerminan sifat baik dan buruk. Corak ini menjadi ukiran pada jendela maupun pintu. Jadi demikian detail penjelasan mengenai salah satu warisan tangible berupa rumah adat Yogyakarta. Walaupun rumah-rumah tradisional sudah banyak tergerus dengan bangunan modern, melalui pemahaman yang baik ini semoga eksistensinya tetap terjaga, ya. So, di masa depan kita semua masih bisa menikmati keindahan rumah-rumah adat ini secara langsung tidak hanya sekedar foto.4Ye4.